HealthcareUpdate News

Tren Swamedikasi di Indonesia: Praktis, Tapi Apa Risikonya?

Banyak orang Indonesia mengandalkan swamedikasi sebagai solusi cepat untuk sakit ringan. Namun, meningkatnya prevalensi pengobatan mandiri perlu dicermati, karena di balik kemudahannya terdapat risiko kesehatan yang sering diabaikan.

Pernah sakit kepala atau demam, lalu langsung beli obat di apotek tanpa ke dokter? Anda tidak sendirian! Faktanya, kebanyakan orang Indonesia memilih swamedikasi atau pengobatan mandiri tanpa resep dokter sebagai ‘pertolongan pertama’ saat kesehatan terganggu. Praktis memang, tapi tahukah Anda risikonya?

 Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, terjadi peningkatan prevalensi swamedikasi sebesar 29% selama periode 2015–2024. Lonjakan tertinggi tercatat pada tahun 2021 sebesar 84,2%, diikuti oleh 84,3% pada 2022, sebelum sedikit menurun menjadi 79% pada 2024.

Meskipun mengalami sedikit penurunan di tahun 2024, angka ini tetap sangat tinggi – menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan pengobatan mandiri sebagai solusi utama kesehatan. Di sisi lain, meski BPS tidak menjelaskan secara spesifik mengenai penyebab kenaikan tersebut, lonjakan angka pada periode 2021–2022 dapat dihubungkan dengan masa pandemi COVID-19, ketika akses ke layanan kesehatan formal terbatas, kekhawatiran masyarakat tertular COVID-19 di rumah sakit, serta adanya pembatasan pergerakan yang mempersulit konsultasi ke dokter.

Menariknya, meskipun pandemi telah mereda, tren swamedikasi tidak langsung turun secara drastis. Hal ini mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lain yang turut mendorong masyarakat untuk tetap mengandalkan pengobatan mandiri, misalnya persepsi efisiensi, kemudahan akses obat bebas, dan kebiasaan yang sudah terbentuk.

 Penyebab Tingginya Swamedikasi di Indonesia

 Fenomena swamedikasi di Indonesia bukan semata persoalan keterbatasan akses layanan kesehatan. Praktik ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya, pengalaman pribadi, hingga kondisi ekonomi. Sebuah studi tahun 2022 oleh Universitas Padjadjaran Bandung mengidentifikasi setidaknya tujuh alasan utama mengapa swamedikasi digemari, khususnya di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di kampus tersebut; menganggap sakit yang dialami tergolong ringan, pengalaman sebelumnya dalam penggunaan obat pribadi atau keluarga, kendala finansial, saran dari orang tua atau teman, keinginan menghemat waktu, pengetahuan medis atau farmasi yang dimiliki, serta kebutuhan yang sifatnya mendesak.

Read More  Konflik Iran–Israel Tekan Rupiah dan Saham, Emas Jadi Pilihan Aman

Meskipun temuan ini berasal dari populasi mahasiswa kedokteran yang memiliki pengetahuan klinis lebih tinggi dibanding masyarakat umum, perilaku yang ditunjukan tetap mencerminkan kecenderungan yang juga terlihat di masyarakat luas.

 Tingginya angka swamedikasi di Indonesia tidak lepas dari keterbatasan sistem layanan kesehatan dan tantangan ekonomi masyarakat. Meski jangkauan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan telah mencapai 98,25% penduduk pada 2024, tingginya angka swamedikasi menunjukkan masih ada kesenjangan dalam akses atau kenyamanan layanan kesehatan formal.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam prosiding Seminar Nasional Official Statistics (Semnas Offstat) oleh Politeknik Statistika STIS (2021) menyatakan bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan BPJS Kesehatan, seperti waktu tunggu yang lama dan proses administrasi yang rumit, menjadi salah satu faktor pendorong praktik swamedikasi.

 Menurut survei Populix pada Maret 2025, hanya 9,7% masyarakat yang memiliki kombinasi BPJS dan asuransi kesehatan swasta. Biaya menjadi alasan utama (61,4%) mengapa masyarakat belum memiliki perlindungan tambahan tersebut. Akibatnya, saat mengalami gejala yang tampak ringan seperti batuk, nyeri perut, atau demam—banyak yang memilih swamedikasi sebagai solusi cepat dan murah, meskipun kondisi tersebut sebenarnya bisa memerlukan diagnosis medis yang lebih akurat.

Selain alasan finansial, faktor waktu dan kemudahan akses juga mendorong masyarakat memilih swamedikasi. Laporan GoodStats (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden merasa membeli obat langsung di apotek jauh lebih praktis daripada harus mengantre di fasilitas kesehatan. Sementara itu, pilihan terhadap pengobatan alternatif seperti jamu, obat herbal, tukang urut, dan metode tradisional lainnya juga masih kuat—mencerminkan warisan budaya yang terus bertahan di tengah perkembangan layanan medis modern.

Benny Fajarai, Co-Founder Lifepal mengatakan, tingginya angka swamedikasi menunjukkan bahwa masyarakat butuh solusi yang cepat, mudah, dan sesuai dengan kondisi mereka. Namun di balik kemudahan itu, ada risiko yang perlu disadari. “Di sinilah pentingnya peran edukasi dan akses perlindungan yang tepat, agar keputusan kesehatan tidak hanya praktis, tapi juga aman dan berkelanjutan,”  ujar Benny.  

Read More  Daewoong Perkenalkan Produk Estetika Medis di Indonesia

 Swamedikasi Bukan Solusi Jangka Panjang 

 Perlu dicatat, swamedikasi bukan praktik yang sepenuhnya salah. Dalam kondisi ringan dan dengan pemahaman yang cukup, misal sakit kepala ringan, bisa diobati dengan mengonsumsi obat generic yang tersedia di pasaran. Ini bisa menjadi opsi sementara, sejalan dengan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan bahwa swamedikasi boleh dilakukan dengan menggunakan obat bebas/bebas terbatas dari apotek resmi.

 Masalah muncul ketika Anda melakukan pengobatan sendiri untuk kasus yang lebih serius dari sekadar gejala ringan. Anda bisa terjebak dalam risiko berbahaya seperti salah diagnosis, dosis tidak tepat, atau penyalahgunaan antibiotik. Lalu bagaimana solusinya? Pertama, jika Anda memilih untuk menggunakan obat bebas, pastikan Anda memperhatikan petunjuk pemakaian, komposisi, dosis, efek samping, dan tanggal kedaluwarsa sebelum digunakan. Kedua, perhatikan obat mana yang benar-benar memerlukan resep (dan patuhi aturan mengenai obat yang diresepkan). Terakhir, lengkapi perlindungan kesehatan Anda dengan asuransi.

 Mempertimbangkan proteksi tambahan di luar BPJS bisa menjadi langkah bijak untuk menyesuaikan perlindungan kesehatan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing

Back to top button