Safe and SecureUpdate News

Trotoar Menyempit, Hak Pejalan Kaki Tergerus di Jantung Ibu Kota

Penyempitan trotoar di belakang Grand Indonesia memperlihatkan ironi kota metropolitan, di mana pejalan kaki terpaksa bertaruh nyawa demi melintas di ruang yang seharusnya milik mereka.

— Di tengah semangat pembangunan kota yang ramah pejalan kaki, realita di lapangan menunjukkan ironi. Trotoar di Jalan Teluk Betung I, tepat di sisi barat Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, kini hanya menyisakan ruang selebar kurang dari 30 sentimeter—tak cukup untuk pejalan kaki berjalan tegak lurus. Banyak warga akhirnya turun ke badan jalan, bersisian langsung dengan kendaraan bermotor yang melintas cepat.

Visual kondisi ini viral di media sosial lewat unggahan akun X @drhaltekehalte yang memperlihatkan warga harus berjalan miring agar bisa melintas. Kejadian tersebut sontak memicu sorotan luas dari publik dan komunitas tata kota.

“Saya lewat sini tiap hari, dan makin lama makin sempit trotoarnya. Sekarang bahkan sudah kayak gang tikus,” ujar Rian (34), pekerja kantor di kawasan Sudirman yang setiap hari berjalan kaki dari halte TransJakarta Tosari menuju Stasiun MRT Dukuh Atas.

Kondisi tersebut memicu respons dari Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, yang menyebutkan bahwa lokasi tersebut menjadi salah satu titik yang akan ditertibkan oleh pemda. “Saya sudah mendapatkan laporan. Termasuk di belakang GI yang mengalami penyempitan karena begitu banyak parkir motor dan sebagainya. Kami akan tertibkan,” ucapnya, Sabtu (15/6).

Menurut Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, kejadian ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap ruang publik dan kurangnya keberpihakan terhadap pejalan kaki. “Ini soal keadilan ruang. Trotoar adalah hak warga kota. Ketika ruang itu dikorbankan demi kendaraan bermotor atau fungsi komersial, maka yang dikorbankan adalah aksesibilitas dan keselamatan,” jelas Yayat saat dihubungi.

Read More  PLN Siap Terangi 780 Ribu Rumah dalam Program Listrik Desa

Trotoar sejatinya dilindungi oleh regulasi nasional dan daerah. Sesuai dengan Permen PUPR No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan Infrastruktur Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, trotoar wajib dibangun dengan lebar minimum 1,5 meter dan tidak boleh dialihfungsikan. Pemerintah DKI juga memiliki Perda No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi yang menyebutkan bahwa pejalan kaki merupakan prioritas utama dalam sistem mobilitas kota.

Namun di Jakarta, konflik ruang kerap terjadi. Berdasarkan survei ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) tahun 2023, lebih dari 52% jaringan trotoar di Jakarta tidak ramah pejalan kaki—baik karena penyempitan, hambatan fisik, atau digunakan untuk parkir liar.

Pemerintah DKI Jakarta mengklaim telah membangun lebih dari 200 km trotoar baru sejak 2021. Namun kasus di sekitar Grand Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan saja tidak cukup tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten.

“Kalau trotoarnya sempit dan tidak bisa dipakai, maka semua kampanye transportasi publik jadi kontradiktif. Kita ingin warga naik MRT dan TransJakarta, tapi lupa bahwa mereka harus berjalan kaki dulu menuju halte,” tambah Yayat.

Beberapa organisasi seperti Koalisi Pejalan Kaki dan Bike2Work Indonesia mendesak agar kawasan pusat bisnis seperti Dukuh Atas, Sudirman, dan Thamrin dijadikan prioritas pengembalian ruang publik. Mereka juga mendorong penertiban area parkir liar yang menggunakan bahu trotoar dan pelibatan warga dalam perencanaan mikro tata kota.

Hingga berita ini diturunkan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta belum memberikan keterangan lebih lanjut soal jadwal konkret penertiban di kawasan tersebut. Namun masyarakat berharap masalah ini menjadi pembelajaran penting untuk menyusun kebijakan kota yang lebih inklusif dan berpihak kepada pengguna jalan paling rentan: pejalan kaki.

Back to top button