Utang PayLater RI Tembus Rp31,55 triliun, Keluarga Harus Melek Literasi Finansial
Lonjakan penggunaan PayLater mencerminkan gaya hidup baru masyarakat digital, tapi tanpa kendali dan literasi, kemudahan ini bisa menjadi jebakan keuangan jangka panjang.

Di kawasan Tanah Abang, seorang ibu rumah tangga menatap ponsel dengan ekspresi cemas saat melihat angka tagihan PayLater yang menumpuk. Kisah seperti itu semakin lazim di kota‑kota besar seiring penggunaan PayLater yang semakin masif. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan total utang masyarakat Indonesia melalui PayLater telah mencapai Rp31,55 triliun per Juni 2025. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp22,99 triliun berasal dari lembaga perbankan, tumbuh hampir 30 persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah pengguna yang kini hampir menyentuh 27 juta orang
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, lonjakan penggunaan PayLater semestinya disikapi sebagai sinyal penting. Ia mengingatkan masyarakat bahwa kemudahan kredit digital hanya bernilai jika disertai dengan pemahaman terhadap risiko dan biaya tersembunyi. Tanpa literasi keuangan memadai, keluarga berisiko terjebak dalam beban konsumtif jangka panjang .
Penelitian akademik juga menguatkan peringatan ini. Sebuah studi di Medan menyebut bahwa pengetahuan finansial memengaruhi perilaku manajemen keuangan pengguna PayLater. Semakin rendah literasi, semakin besar kemungkinan terjadi utang tak terkendali. Implementasi PayLater yang mudah sering memicu pembelian impulsif terutama pada kalangan milenial dan Gen Z meski kapasitas bayar belum tentu tercukupi .
Tak hanya soal angka, lonjakan ini juga membawa dampak pada stress finansial keluarga. Faktor kecemasan karena tagihan tak terkendali bisa berdampak pada kualitas hubungan rumah tangga dan kesehatan mental anggota keluarga.
Untuk menjawab tantangan ini, masyarakat perlu memperkuat literasi pengelolaan keuangan keluarga. Di Indonesia, indeks literasi keuangan masih berada di kisaran 66,46 persen pada tahun 2025, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dirilis OJK dan BPS. Artinya sebagian besar masyarakat masih berpotensi rentan terhadap jebakan kredit digital seperti PayLater .
Merujuk pada regulasi baru OJK terhadap sistem PayLater, penyedia layanan kini wajib memastikan pengguna berusia minimal 18 tahun dengan penghasilan bulanan minimal Rp3 juta. Selain itu, wajib ada penilaian kemampuan bayar sebelum layanan disetujui. Kebijakan ini diharapkan mempersempit akses pengguna yang tidak mampu mengelola utang dengan bijak .
Pada akhirnya, lonjakan utang PayLater bukan sekadar fenomena angka. Ia mencerminkan kebutuhan mendesak akan budaya keuangan keluarga yang cerdas, disiplin, dan sadar risiko. Dengan kontrol diri, perencanaan anggaran, serta pemahaman biaya dan bunga, keluarga dapat menyikapi tren digital finansial dengan bijak dan sehat.