HealthcareUpdate News

“Wabah Sunyi”, Saat Kesepian Jadi Ancaman Baru bagi Kesehatan Warga RI

Kesepian kini diakui sebagai ancaman serius bagi kesehatan mental dan fisik masyarakat Indonesia, bahkan bisa berdampak seperti merokok 15 batang sehari.

Kesepian di era serba terkoneksi ternyata bisa lebih mematikan daripada penyakit yang terlihat, diam-diam menggerogoti kesehatan mental dan fisik jutaan warga Indonesia.

Di tengah kota-kota besar yang sibuk, banyak orang merasa seperti hidup di tengah keramaian tapi tetap kesepian. Data Litbang Kompas (16–19 Juni 2025) memberi gambaran nyata: Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat angka tertinggi penduduk yang merasa kesepian, 66,07 persen, dengan Kota Yogyakarta sebagai yang paling rentan melalui indeks kesepian mencapai 74,94. Angka ini seakan menampar persepsi bahwa daerah dengan kehidupan sosial kental pasti bebas dari rasa sunyi.

Fenomena ini tak hanya menimpa segelintir orang. Survei Kompas menunjukkan 19,97 persen orang Indonesia mengaku kesepian setidaknya sekali dalam seminggu, bahkan sepertiganya hampir setiap hari. Di Jabodetabek, riset Health Collaborative Center (Oktober 2023) menemukan 44 persen responden mengalami kesepian tingkat sedang dan 6 persen kesepian berat. Lansia pun terdampak: survei Indonesian Family Life Survey (IFLS-5) mencatat 11,2 persen lansia merasa sangat kesepian, diperburuk oleh faktor pendidikan rendah, ketidakpuasan hidup, dan kualitas tidur buruk.

Yang mengkhawatirkan, kesepian kini terbukti bukan sekadar persoalan emosional. Riset global mengaitkannya dengan risiko depresi, kecemasan, penurunan imun, hingga penyakit jantung. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kesepian sebagai “epidemi modern” yang dampaknya bisa menyamai merokok 15 batang sehari.

Di Indonesia, akar masalahnya makin kompleks. Generasi muda semakin sibuk dengan dunia digital yang membuat interaksi fisik minim. Lansia ditinggalkan dalam kesunyian rumah tanpa ruang sosial yang memadai. Struktur keluarga pun berubah, dari yang dulu komunal menjadi semakin individualis. Semua ini membentuk “wabah sunyi” yang terus meluas.

Read More  Luas Ideal Rumah yang Sehat, Polemik Hunian Subsidi 18 Meter Persegi

Namun, harapan tidak hilang. Solusinya bisa dimulai dari hal sederhana: bertatap muka lebih sering, kembali menghidupkan budaya kumpul di ruang publik, atau sekadar menyapa tetangga. Pemerintah punya peran besar dengan menghadirkan lebih banyak taman kota, pusat komunitas, dan program sosial berbasis masyarakat. Sementara teknologi—yang sering dituding sebagai penyebab isolasi—justru bisa dipakai sebagai jembatan. Aplikasi relawan, platform pendampingan lansia, hingga ekosistem digital berbasis komunitas bisa menjadi “obat” baru bagi kesepian.

Generasi muda Indonesia, yang melek digital dan haus interaksi, punya peluang untuk memimpin perubahan ini. Dengan memadukan offline dan online, mereka bisa membangun ekosistem sosial baru yang lebih inklusif. Kesepian bukan lagi sekadar masalah individu, melainkan tantangan kolektif bangsa di era modern.

Karena jika dibiarkan, kesepian bisa menjadi penyakit peradaban yang merusak kualitas hidup generasi mendatang. Dan melawan “wabah sunyi” ini adalah investasi terbesar untuk masa depan Indonesia yang lebih sehat, kuat, dan bahagia.

Back to top button