Waspada Investasi Bodong, Literasi Keuangan Masih Perlu Ditingkatkan
Kasus penipuan investasi oleh remaja di Pondok Aren membuka kembali luka lama: investasi bodong masih marak dan masih terus menelan korban

Kamis malam, 7 Agustus 2025, suasana di Jurang Mangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, mendadak riuh. Puluhan orang mendatangi sebuah rumah sederhana, menuntut pengembalian uang yang mereka investasikan. Di balik pintu itu, seorang remaja berinisial G (19) diduga telah mengelola skema investasi tanpa izin, dengan total kerugian mencapai Rp 1,5 miliar.
Ketua RT setempat, Arpan (50), mengaku baru mengetahui praktik tersebut setelah korban datang melapor. “Saya baru tahu ini setelah ada yang datang ke rumah saya jam 23.30 WIB. Kalau enggak lapor, saya enggak akan tahu,” ujarnya kepada Kompas.com. G disebut menjalankan sistem pinjam meminjam berbasis kepercayaan, bermula dari bisnis jual beli baju daring. Tanpa perjanjian resmi, tanpa izin, dan tanpa transparansi, skema ini menjaring hingga 700 orang.
Kasus ini bukan yang pertama, dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, sebanyak 209 entitas investasi ilegal telah ditutup, dengan total kerugian masyarakat mencapai Rp 105 miliar. “Modusnya makin canggih, sering kali meniru nama produk atau platform legal. Ini sangat berbahaya karena masyarakat mudah terkecoh,” ujar Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK.
Literasi keuangan yang rendah dan dorongan psikologis untuk mendapatkan keuntungan cepat menjadi dua faktor utama mengapa masyarakat masih terjerat. “Sering kali masyarakat tahu itu mencurigakan, tapi tetap tergiur dengan iming-iming untung besar,” tambah Friderica.
Lalu, bagaimana mengenali investasi bodong?
Skema ini biasanya menawarkan keuntungan tidak realistis, seperti puluhan persen per bulan. Tidak ada izin resmi dari OJK, tidak ada transparansi soal aliran dana, dan sering kali menggunakan tekanan emosional agar calon investor segera menyetor uang. Beberapa bahkan menggunakan skema Ponzi, di mana uang investor baru digunakan untuk membayar investor lama.
Masyarakat perlu lebih kritis dan waspada. Sebelum berinvestasi, pastikan entitas tersebut terdaftar di OJK, pelajari model bisnisnya, dan jangan mudah percaya pada janji manis yang tidak masuk akal. Edukasi keuangan bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.
Kasus remaja di Pondok Aren menjadi pengingat bahwa investasi bodong bisa terjadi di mana saja, bahkan dimulai dari ruang obrolan daring dan status media sosial. Di era digital, kecepatan informasi harus diimbangi dengan ketajaman analisis. Karena di balik janji keuntungan besar, bisa saja tersembunyi kerugian yang tak terbayar.