Waspada Jalur Neraka: Kemacetan TB Simatupang Rugikan Miliaran Rupiah
Kemacetan di Jalan TB Simatupang Jakarta Selatan makin parah. Kerugian ekonomi akibat macet diperkirakan tembus Rp100 triliun per tahun.
Setiap pagi, Cecep (32) harus berangkat kerja dari Jagakarsa menuju Fatmawati. Dulu, waktu tempuhnya hanya sekitar 20 menit. Kini, ia bisa menghabiskan hingga satu setengah jam di jalan. âKalau lagi apes, saya lebih cepat jalan kaki daripada naik motor,â ujarnya sambil tertawa getir. Tapi tawa itu menyimpan frustrasi yang dirasakan ribuan pengendara lain di jalur yang sama.
Kemacetan di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, bukan cerita baru. Namun sejak Juli 2025, kondisinya berubah menjadi mimpi buruk. Proyek pemasangan pipa air limbah sepanjang 2,5 kilometer dari Simpang Cilandak KKO hingga RS Fatmawati menyita sebagian besar lajur jalan. Di beberapa titik, seperti depan Gedung Cibis, SPBU, dan Wisma Raharja, tiga lajur menyempit menjadi satu. Kendaraan hanya bisa melaju dengan kecepatan lima kilometer per jam di jam sibuk. Warga menyebutnya âjalur nerakaâ.
Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta, proyek ini akan berlangsung hingga Desember 2025 dan terbagi dalam delapan seksi. Rekayasa lalu lintas telah diterapkan, dan jalur alternatif seperti Ampera, Fatmawati Raya, serta Jagakarsa disarankan. Namun, warga mengeluhkan minimnya rambu proyek, tidak adanya petugas pengatur lalu lintas, dan pengerjaan yang tetap dilakukan di jam sibuk. Banyak yang merasa bahwa koordinasi lintas dinas belum berjalan optimal.
emacetan bukan hanya soal frustrasi. Ia berdampak langsung pada ekonomi. Berdasarkan data yang dikutip dari Tirto, kerugian akibat kemacetan di Indonesia diperkirakan mencapai Rp100 triliun per tahun. Angka ini mencakup pemborosan bahan bakar akibat mesin menyala tanpa bergerak, penurunan produktivitas kerja karena waktu terbuang di jalan, kerusakan kendaraan yang lebih cepat, serta peningkatan polusi udara yang berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup.
Bagi pengemudi ojek daring, sopir truk, dan pekerja kantoran, kemacetan ini berarti penghasilan berkurang dan energi terkuras. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja, beristirahat, atau berkumpul dengan keluarga, habis di jalan yang tak bergerak.
Kepala Dishub DKI, Syafrin Liputo, menyebut bahwa proyek ini penting untuk sistem pengelolaan air limbah yang lebih baik. Namun ia juga mengakui perlunya perencanaan yang lebih matang agar proyek vital seperti ini tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang besar. Koordinasi antarinstansi, pengaturan waktu pengerjaan, dan komunikasi publik yang transparan menjadi kunci agar pembangunan tidak menjadi beban.
TB Simatupang bukan sekadar jalan. Ia adalah cermin dari bagaimana ambisi pembangunan bisa berdampak besar jika tidak dikelola dengan presisi. Di tengah semangat membangun kota, jangan sampai waktu, energi, dan ekonomi warga menjadi korban kemacetan yang tak kunjung selesai.





