WHO: 1 Miliar Orang Hadapi Masalah Mental, Indonesia Tak Kalah Mendesak
WHO merilis data bahwa 1 miliar orang di dunia mengalami masalah mental. Di Indonesia, lebih dari 19 juta orang terdampak, menegaskan urgensi layanan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri.
Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang jatuh pada 10 September 2025 menjadi momentum penting bagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kembali mengingatkan dunia akan krisis kesehatan mental global. Dalam laporan terbarunya, WHO menyebutkan lebih dari 1 miliar orang di dunia hidup dengan gangguan mental, mulai dari kecemasan, depresi, hingga kondisi kronis lainnya. Angka ini menegaskan bahwa kesehatan mental bukan hanya masalah medis, melainkan persoalan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.
Masalah kesehatan mental kini disebut sebagai salah satu penyebab utama disabilitas global. WHO mencatat, penderita gangguan mental lebih rentan kehilangan produktivitas, berisiko tinggi putus sekolah, hingga menghadapi diskriminasi di tempat kerja. Dampaknya tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga keluarga dan negara. Bank Dunia bahkan memperkirakan kerugian ekonomi global akibat masalah kesehatan mental mencapai triliunan dolar setiap tahunnya.
Di Indonesia, kondisinya juga memerlukan perhatian serius. Berdasarkan data resmi, sekitar 11% populasi usia 15 tahun ke atas, atau lebih dari 19 juta orang, mengalami gangguan mental. Survei Kesehatan Dasar (Riskesdas) juga mengungkapkan bahwa angka depresi di Indonesia terus meningkat pasca pandemi COVID-19, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Tantangan terbesar masih terletak pada stigma, di mana banyak orang yang enggan mencari pertolongan karena takut dicap âlemahâ atau âgila.â
Praktik pemasungan terhadap penderita gangguan mental masih ditemukan di sejumlah daerah, menandakan masih kuatnya diskriminasi. Di sisi lain, rasio tenaga psikiater di Indonesia masih jauh dari ideal. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 1.200 psikiater, atau sekitar 1 psikiater untuk setiap 200 ribu penduduk. Kondisi ini membuat akses layanan kesehatan mental masih sangat terbatas, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
WHO juga menyoroti tingginya angka bunuh diri global yang mencapai lebih dari 720.000 kematian per tahun. Bunuh diri kini menjadi penyebab kematian ketiga terbesar pada kelompok usia 15â29 tahun. Tema tahun ini, âChanging the Narrative on Suicideâ, menekankan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat agar bunuh diri tidak lagi menjadi isu tabu, melainkan persoalan kesehatan publik yang harus dicegah melalui dukungan, empati, dan layanan kesehatan yang mudah diakses.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan program layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, salah satunya melalui Posyandu Remaja dan layanan konseling daring. Pemerintah juga mendorong masyarakat untuk memanfaatkan nomor darurat kesehatan mental, meski masih perlu sosialisasi lebih luas agar benar-benar diakses masyarakat yang membutuhkan.
Pakar kesehatan mental juga mengingatkan pentingnya langkah pencegahan sederhana yang bisa dilakukan sehari-hari. Menjaga kualitas tidur, berolahraga teratur, membangun komunikasi terbuka dalam keluarga, hingga mengurangi paparan media sosial yang berlebihan adalah cara yang terbukti membantu menjaga stabilitas mental. Lebih dari itu, lingkungan yang suportif tanpa stigma akan sangat menentukan kesembuhan penderita.
Krisis kesehatan mental adalah persoalan global sekaligus lokal. WHO menekankan bahwa jika dunia gagal mengatasi masalah ini, maka bukan hanya individu yang menderita, tetapi juga masa depan generasi muda yang terancam. Indonesia kini dihadapkan pada tantangan besar: memperkuat layanan kesehatan mental, menghapus stigma, dan memastikan setiap orang punya ruang aman untuk berbicara dan mencari pertolongan.





