Pecah Pembuluh Darah di Otak: Ancaman Nyata, dan Cara Mencegahnya
Kabar duka datang dari jurnalis Najwa Shihab yang kehilangan suaminya tercinta akibat pecah pembuluh darah di otak. Tragedi ini kembali mengingatkan kita bahwa stroke, khususnya stroke hemoragik, adalah ancaman nyata yang bisa datang kapan saja, bahkan pada orang yang tampak sehat.

Beberapa hari yang lalu, publik dikejutkan oleh berita duka dari keluarga Najwa Shihab. Suaminya, Ibrahim Assegaf, meninggal dunia akibat pecahnya pembuluh darah di otak—kondisi medis yang dikenal sebagai stroke hemoragik. Kepergiannya yang mendadak tidak hanya meninggalkan duka mendalam, tapi juga membuka mata banyak orang akan bahaya stroke yang masih sering diremehkan.
Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan RI, stroke masih menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Angka kematian akibat stroke mencapai 131,8 per 100.000 penduduk. Dari jumlah tersebut, kasus stroke hemoragik—yakni stroke yang terjadi karena pembuluh darah otak pecah dan menyebabkan perdarahan—merupakan salah satu yang paling mematikan.
Stroke Hemoragik
Berbeda dengan stroke iskemik yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah, stroke hemoragik terjadi saat pembuluh darah di otak pecah. Akibatnya, darah yang bocor menekan jaringan otak dan bisa menyebabkan kerusakan permanen. Gejalanya bisa datang tiba-tiba: sakit kepala hebat, kehilangan keseimbangan, pandangan kabur, hingga kehilangan kesadaran.
“Stroke hemoragik sering kali terjadi pada penderita hipertensi kronis. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol menjadi faktor risiko utama,” ungkap dr. Mery Sulastri, Sp.S, spesialis saraf di RSUPN Cipto Mangunkusumo, dalam wawancara kepada kami. “Sayangnya, banyak pasien tidak menyadari mereka punya tekanan darah tinggi, atau merasa sehat padahal tekanan darah mereka sudah di atas ambang normal.”
Ada beberapa alasan mengapa stroke begitu banyak merenggut nyawa di negeri ini. Pertama, kurangnya pemeriksaan rutin. Kedua, gaya hidup masyarakat yang cenderung tidak aktif, konsumsi makanan tinggi garam dan lemak, serta kebiasaan merokok dan kurang tidur.
Pemeriksaan tekanan darah, kolesterol, dan kadar gula darah sering diabaikan, padahal itu bisa menjadi langkah awal menyelamatkan nyawa.
Bagaimana Cara Mencegahnya?
Mencegah lebih baik daripada menyesal. Berikut beberapa langkah penting untuk menurunkan risiko stroke, terutama stroke hemoragik:
Kontrol tekanan darah
Jaga tekanan darah di bawah 130/80 mmHg. Periksakan tekanan darah secara berkala, terutama bagi mereka yang berusia di atas 35 tahun atau punya riwayat hipertensi dalam keluarga.
Ubah gaya hidup
Berhenti merokok, kurangi konsumsi alkohol, perbanyak olahraga ringan seperti jalan kaki 30 menit sehari.
Perhatikan pola makan
Konsumsi makanan tinggi serat, sayuran, buah, dan kurangi garam serta makanan berlemak jenuh.
Kelola stres dengan baik
Tekanan mental yang tinggi dapat memicu lonjakan tekanan darah. Meditasi, tidur cukup, atau sekadar berbincang dengan orang terdekat bisa jadi obat yang efektif.
Rutin cek kesehatan
Jangan tunggu sakit untuk ke dokter. Cek darah, kolesterol, dan EKG bisa membantu deteksi dini potensi stroke.
Tragedi yang menimpa keluarga Najwa Shihab adalah pengingat yang menyentuh bagi kita semua. Bahwa di balik aktivitas harian, pekerjaan, dan rutinitas yang tampak normal, bisa tersembunyi risiko besar jika kesehatan tidak dijaga dengan serius.
“Kesadaran masyarakat kita masih rendah. Padahal stroke bisa dicegah. Kuncinya adalah konsistensi dalam menjaga tekanan darah dan menerapkan pola hidup sehat,” lanjut dr. Mery.
Stroke, terutama stroke hemoragik, bukan hanya masalah medis—tetapi juga masalah gaya hidup, pola pikir, dan kesadaran diri. Kasus yang menimpa suami Najwa Shihab menjadi alarm bagi kita semua untuk tidak menunda menjaga kesehatan.
Jika Anda merasa sehat hari ini, jangan jadikan itu alasan untuk menunda pemeriksaan rutin. Ingat, stroke sering kali tidak memberikan peringatan.