ProfileUpdate News

Alexandr Wang: Miliarder Muda di Balik Kecerdasan Buatan Dunia

Berawal dari Los Alamos hingga direkrut Meta, Alexandr Wang mengubah peta teknologi global dengan kejeniusannya dalam data dan kecerdasan buatan.

Pada suatu malam musim panas di San Francisco, lampu-lampu neon menyala tenang di distrik Mission Bay. Sementara kantor-kantor startup ramai dengan diskusi para teknolog muda, satu ruangan di gedung Scale AI tetap sunyi. Di sana, dengan hoodie hitam dan sepasang headphone, seorang pria muda menatap layar penuh angka dan peta neural network yang saling bersilangan.

Ia bukan analis biasa. Ia adalah Alexandr Wang, jenius matematika dari New Mexico, yang kini menjadi pengendali data engine di balik perusahaan-perusahaan teknologi terbesar di dunia. Kini, di usia 28, ia tidak hanya mengelola aset miliaran dolar—tapi juga ikut menentukan arah perkembangan kecerdasan buatan global. Dan sejak pertengahan 2025, tanggung jawab itu bertambah: ia direkrut oleh Meta untuk memimpin laboratorium superintelligence baru mereka.

Wang lahir di Los Alamos, kota kecil di negara bagian New Mexico yang dikenal sebagai rumah dari riset bom atom. Kedua orang tuanya adalah fisikawan yang bekerja di Laboratorium Nasional Los Alamos. Dari rumah yang dipenuhi jurnal ilmiah dan eksperimen sore hari, tumbuh anak laki-laki yang lebih akrab dengan kalkulator ketimbang skateboard.

Bakat Wang dalam matematika sudah terlihat sejak kecil. Ia melompat beberapa kelas, memenangkan olimpiade sains, dan akhirnya diterima di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Namun seperti para inovator yang sering tampil di luar pola, Wang merasa kampus terlalu lambat. Ia keluar setelah tahun pertama untuk mengejar mimpi yang belum ada namanya: menciptakan otak bagi mesin.

Read More  Tips Berkendara Aman dan Nyaman Saat Liburan

Tahun 2016, di usia 19, Wang mendirikan Scale AI bersama Lucy Guo. Saat dunia mulai bicara soal potensi AI, Wang mengisi kekosongan yang jarang disadari: data.

Model AI hebat hanya bisa lahir jika diberi data yang terstruktur, bersih, dan relevan. Wang membangun sistem pelabelan data skala besar—semacam “guru privat” bagi mesin pembelajar. Scale AI pun cepat jadi tulang punggung bagi perusahaan seperti OpenAI, Microsoft, Amazon, Google, hingga Pentagon.

Hanya dalam beberapa tahun, valuasi Scale AI melonjak. Pada 2024, perusahaan membukukan pendapatan USD 870 juta, dan pada 2025 diproyeksikan menembus USD 2 miliar. Namanya masuk dalam daftar Forbes sebagai miliarder termuda dari jalur usaha sendiri.

Mendekati Kecerdasan Tuhan

Pada pertengahan 2025, Meta—induk Facebook dan Instagram—mengumumkan akuisisi 49% saham Scale AI senilai USD 14,3 miliar atau sekitar Rp232,95 triliun. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, tapi justru jadi sinyal kuat arah masa depan Meta.

Dalam kesepakatan itu, Wang tidak hanya melepas sebagian perusahaan, ia juga diminta memimpin laboratorium AI superintelligence Meta. Proyek ini bertujuan menciptakan kecerdasan buatan yang tidak hanya mereplikasi manusia—tapi bahkan dapat melampaui kapasitas pikir manusia.

“Wang bukan hanya seorang teknolog. Ia adalah visioner dengan sensitivitas etika yang langka,” kata Mark Zuckerberg saat pengumuman resmi.

 Sepatu Hiking dan Buku Filsafat

Meski kini kekayaannya ditaksir mencapai USD 3,6 miliar atau sekitar Rp58,6 triliun, Wang tetap hidup sederhana. Ia jarang muncul di publik, tidak punya jet pribadi, dan lebih senang menghabiskan akhir pekan dengan mendaki gunung atau membaca buku filsafat.

“AI mengajarkan saya soal efisiensi,” katanya dalam wawancara langka dengan The Information. “Tapi mendaki gunung mengajarkan saya soal batas.”

Read More  Pemerintah Berikan Diskon Besar untuk Transportasi, Dorong Mobilitas Selama Libur Sekolah

Wang dikenal sangat selektif dalam berinvestasi dan menghindari sorotan media. Ia juga aktif berbicara di forum-forum kebijakan publik, mendorong regulasi AI yang etis dan transparan, sembari mengingatkan akan bahayanya jika teknologi sedemikian kuat dibiarkan tanpa panduan moral.

Saat banyak orang melihat AI sebagai mesin yang membantu, Wang melihatnya sebagai entitas yang harus diarahkan. Dalam kesaksiannya di hadapan Kongres AS, ia mengatakan, “Kita tidak hanya sedang menciptakan teknologi, kita sedang membentuk ulang peradaban.”

Kini, di usia 28, Alexandr Wang berdiri di garis depan revolusi yang belum selesai. Ia adalah jembatan antara keheningan data dan hiruk-pikuk masa depan. Antara algoritma dan nilai kemanusiaan.

Dalam sunyi laboratoriumnya, ia menyusun masa depan bukan dengan guntur, melainkan dengan garis-garis kode. Dan mungkin, suatu saat nanti, kita akan mengenang bahwa masa depan AI—dan masa depan kita semua—pernah diukir dari tangan seorang anak fisikawan yang diam-diam membangun mesin untuk memahami dunia.

Back to top button