Bahaya, Indonesia di Peringkat Kedua Kasus TBC Dunia
Indonesia menghadapi lonjakan kasus tuberkulosis (TBC), menempati peringkat kedua dunia dengan lebih dari satu juta kasus setiap tahun.

Indonesia kini menjadi negara dengan jumlah kasus tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia, setelah India. Berdasarkan laporan Global Tuberculosis Report 2024 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menyumbang 10 persen dari total kasus TBC global pada tahun 2023.
Pada tahun 2025, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 1.090.000, dengan angka kematian sekitar 125.000 jiwa setiap tahunnya. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan utama, dengan 14 orang meninggal setiap jam akibat TBC.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target eliminasi TBC pada tahun 2030, sejalan dengan komitmen global. Untuk mencapai target ini, berbagai langkah telah dilakukan, termasuk peningkatan jumlah dokter spesialis paru, distribusi mesin rontgen portabel untuk mempercepat diagnosis, serta program Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis (GIATKAN) yang melibatkan komunitas dan kader kesehatan dalam deteksi dini serta pendampingan pasien.
Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono, menegaskan bahwa pengobatan TBC bukanlah hal yang sederhana. Ia menjelaskan bahwa pengobatan untuk pasien TBC harus dilakukan selama beberapa waktu, antara enam hingga sembilan bulan. Namun, saat ini Indonesia telah memiliki pengobatan baru yang bisa mempersingkatnya menjadi enam bulan. “Kalau kemarin rata-rata sembilan bulan, sekarang kita buat obat yang lebih ringkas lagi. Dengan teknologi yang baru lagi, kira-kira enam bulan pengobatan tuberkulosis,” ujar Dante.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan besar dalam eliminasi TBC. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap gejala awal TBC, seperti batuk lebih dari dua minggu, sering kali diabaikan. Ketimpangan akses layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil, menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Pola pengobatan yang tidak konsisten juga menjadi kendala, di mana banyak pasien berhenti mengonsumsi obat sebelum masa pengobatan selesai, menyebabkan resistensi obat.
Dante juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TBC. Ia menjelaskan bahwa orang-orang yang tinggal bersama dengan pasien TBC disebut sebagai kontak erat dan perlu diperiksa agar dapat segera diobati jika memang mengidap TBC. “Kalau ternyata dia negatif, dia harus tetap minum obat TBC. Namanya pencegahan tuberkulosis, TPT atau terapi pencegahan tuberkulosis,” tutur Dante.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam penanggulangan TBC, tetapi berbagai upaya terus dilakukan untuk mencapai target eliminasi pada tahun 2030. Dengan deteksi dini yang lebih agresif, peningkatan akses pengobatan, serta edukasi yang berkelanjutan, harapannya angka kasus dan kematian akibat TBC dapat ditekan secara signifikan. Keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada sinergi pemerintah, tenaga medis, dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi ancaman penyakit ini.